'Scientist to be' Talking About Islam
Yuhuuy! Liburan sudah berakhir dari 3 hari
yang lalu. Aku sudah kembali pada kenyataan lagi dan mengisi hari-hari dengan sangat
produktif. Termasuk hari ini.
Sebenarnya aku pengen memposting gambaran kehidupannya
anak MIPA, yang sebenarnya pula sudah selesai kuketik duluan di draft namun
belum diedit lagi. Mungkin minggu ini kita intermezo yang berfaedah sedikit di
dalam bidang scientist. Keep reading.
Sedikit informasi, kini aku sudah mulai
berpencar-pencar jadwal dengan teman-temanku yang swag itu karena pembagian
kelas berdasarkan NIM genap dan ganjil. Karenanya meski sudah 2 hari kuliah,
tapi baru hari ketiga ini kami ngumpul-ngumpul lagi. Biasanya pembicaraan kami
seputar itu itu aja. Kuliah dengan dosennya, lab dengan aslabnya, jumlah SKS,
TA (meski masih lama), nikah (wakakak) dan lain-lain. Tapi hari ini kami ngumpul
dengan pembicaraan yang keren banget. Scientist in islam.
Yah namanya juga perkumpulan anak MIPA
Biologi, begitu nyinggung sesuatu suka banget dikaitkan dengan ilmu-ilmunya. Misalnya
nih pas mau mangkal lihat cowok ganteng lewat aja langsung ingat baru tadi dosen
nanya kerja si otot jantung, secara sadar atau tidak sadar?
Tebak apa jawabannya? #biar elo elo pada
mikir
Tidak sadar dongg. Coba bayangin kalo
kerjanya secara sadar. Begitu kamu lihat cogan, jantung kamu lupa untuk
berdetak. Kan gawat. Meski ungkapannya ‘seolah-olah berhenti berdetak’, ya kali
kamu masih hidup.
Sesuatu yang seperti itulah yang kira-kira
sering dibicarakan oleh kami. Dan hari ini tiba-tiba mereka mulai membicarakan
bagaimana seorang ibu melahirkan secara biologi dan ilmu kedokteran serta dari
segi jihad agama, ngomongin rhesus pasangan yang sama kemudian berkemungkinan
anaknya cacat dan sebagainya. Sebenarnya kalo direka ulang, ini tuh pembicaraan
yang sangat biologi dan edukatif. Gimana caranya kamu itu bisa mengkaitkan ilmu
yang kamu miliki gak hanya dengan modal nanya ‘kenapa’, tapi juga dibarengi
perkataan ‘alhamdulillah Allah ngatur segala sesuatunya lebih dahulu sebelum
kita yang ngerti’. Kalo nunggu kita yang mengerti dan menciptakan segala sesuatunya
sesempurna ciptaan Dia, sampai kita kuliah S10 juga masih ada aja cacatnya.
Nah, jadi pembicaraan ini tu mengingatkan aku
pada sebuah perkataan-perkataan yang dulu pernah aku baca. Bahwa banyak banget
scientist yang bisa dikatakan atheis. Aku lebih suka bilang kalo mereka itu ‘menuhankan
logika’ mereka.
Mereka bakal menciptakan banyak banget
teori-teori dari dasar pemikiran mereka. Tanpa tahu bahwa teori yang mereka
kemukakan sudah lebih dahulu dijelaskan di Al-Quran. Kadang mereka tahu tapi
tidak mau tau. Padahal justru kalau kamu mau mengakui, sungguh kamu bakal
bilang, “nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kau dustakan?”. You got my
point.
Sampai tadi itu ada kakak leting aku yang
emang sering nongkrong bareng kami bilang bahwa ada seorang scientist yang
mengakui bahwa Islam itu sungguh benar karena dia tahu kebanyakan teori yang dia
buat sudah disebutkan di Al-Quran. Tapi dia tetap gak masuk Islam, sampai mati
dia gak bersyahadat di dalam Islam.
Why?
Karena hidayah itu mahal.
Sebenarnya hidayah itu datang kepada
orang-orang yang Allah pilih. Tapi kalo kamu gak mau ‘menjemput’ dia dan hanya
menunggu, kamu cuma bakal sekedar tau istilah hidayah tanpa pernah
mencicipinya. Kamu mau menunggu? Barangkali kamu mati esok, apa kamu masih mau
menunggu?
Setelahnya teman-teman aku pada bilang, “makanya
kita kudu bersyukur udah lahir dalam keadaan Islam, gak susah susah mencari
lagi mana yang benar. Uda di depan mata tinggal diperdalam. Tinggal diasah aja.”
Kalo ngomongin itu, jangan lantas nunjukin
orang lain yang keluar masuk Islam. Itu sih patut dipertanyakan.
Btw sekarang aku sadar tidak ada jaminan
seseorang yang menyatakan keislamannya hari ini akan tetap beriman sampai hari
kiamat. Dialah yang akan mempertahankannya.
Karena itu aku tidak berani berkomentar lebih
banyak tentang ini. Cuma bisa bantu berdoa semoga aku dan semua pembaca adalah
orang-orang yang sanggup mempertahankan keimanannya sampai hari akhir nanti.
Aamiin.
Dan sebagai penutup, sebenarnya emang ini
adalah topik pembicaraan kami yang terakhir tadi, yaitu tentang bagaimana maut
menghampiri kita.
Semester yang lalu menjelang ramadhan ada dua
kabar besar di Banda Aceh tentang kecelakaan maut. Lebih baik kita tidak
sebutkan apapun tentang identitasnya. Sebut saja si A yang kecelakaan karena
tergilas truk pengangkut pasir, meninggal di tempat dalam keadaan yang mohon
maaf—kelihatan auratnya. Kami yang memperbincangkan kembali masalah ini juga
tidak tahu menahu bagaimana kronologis kejadiannya hingga berakhir dalam
keadaan seperti itu. Tapi darimana akhirnya kami tau? Sosial media.
Lalu sebut lagi yang ini si B dan si C
kecelakaan karena menabrak pohon besar. Keduanya meninggal dunia. Tapi
ternyata, aku baru tahu kalau salah seorang temanku pernah melihat video pasca
kejadian itu. Ternyata si C tidak lantas
meninggal. Setelah kecelakaan, orang-orang menutupi tubuh keduanya dengan kain.
C sempat masih bernafas namun seperti orang tercekik. Aku juga lupa apakah
setelah itu orang-orang lantas memeriksa kembali si C namun yang jelas meski
mendengar itu, mereka malah tidak mengambil tindakan apa-apa. Bahkan hanya
untuk sekedar menuntun C bersyahadat sebelum dia benar-benar dijemput maut.
Tidak ada. Termasuk yang merekam video tersebut.
Kembali lagi, darimanakah kami tahu? Sosial
media.
Menyedihkan sekali. Dimana seharusnya
kecanggihan menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat ternyata di beberapa kondisi
jadi penyebar aib atau malah ajang mencari topik kekinian.
Coba pikirkan, jika orang yang sudah
meninggal saja masih punya aib, lantas bagaimana bisa mereka yang masih hidup
dan jelas jelas punya aib menyebarkanluaskan aib orang yang sudah meninggal?
Kondisi ini mengingatkan aku pada kenyataan
bahwa suatu saat aku juga akan mati. Ketika aku mati, dalam kondisi seperti
apakah aku akan mati?
Apa orang-orang akan bergerak tanggap untuk
membantuku mengucap syahadat ketika aku sempat atau mereka lantas hanya
mengambil benda persegi panjang yang dapat berteriak ke seluruh negeri itu?
Entahlah.
Tapi aku selalu berpikir bahwa setiap kali
aku berpikiran buruk tentang bangsa ini, Allah bukakan sesuatu dalam hatiku
untuk berkata bahwa negeri ini masih punya harapan.
Seperti ketika Jumat yang lalu di tengah
hujan deras di hari pertama Idul Adha aku bersama kakakku dan belasan pengguna
sepeda motor lainnya berteduh di tempat yang sama lalu tiba-tiba ada dua orang
wanita yang motornya sudah setengah menyandung parit yang ditutupi papan kayu
di tengah hujan. Mereka berdua berusaha untuk menarik si motor sampai akhirnya
dua orang laki-laki yang tadinya sudah enak-enakan berteduh lantas langsung
turun untuk membantu.
Mereka sedang berteduh loh. Menghindari
hujan. Barangkali dengan baju baru mereka, di hari raya. Namun mereka turun di
bawah hujan untuk membantu.
Meniru perkataan teman saya, negeri ini
mungkin tampak menyedihkan. Tapi negeri ini masih punya harapan. Kita, termasuk
agent of change yang dibentuk. Semoga semua pembaca adalah orang-orang yang
ditunjuk Allah untuk selalu membantu sesama. Saling menunjuki ke jalan yang
benar. Serta tidak tersesat selama menuju akhir. Aamiin.
Mantap banget kakak bell bell 😊😄
BalasHapusYa ampun yun ternyata lu selama ini rajin baca juga ya baru nyadar, haha makasihh
HapusAku fansnya kak bell bell 😘😘
Hapus