School Life, Mine and Korean

Posisinya disini sebenarnya aku udah di tahun kedua jadi mahasiswi, udah agak agak aneh kalo bahas ulang tentang masa sekolah. Jadi disini aku cuma mau menyampaikan poin-poin penting dari masa-masa sekolah. Buat siapapun yang merasa mungkin ini berguna untuk cara mendidik anak baik itu saat jadi seorang guru, dosen ataupun anak sendiri (ortu), soalnya ada yang bilang gak pernah ada kata terlalu cepat untuk memikirkan masa depan, termasuk tentang cara mendidik anak yang gak tau kapan akan dimiliki.
Btw, yang udah lihat judul ada sebut korea korea dan kalian anti korea, jangan mundur dulu ya. Aku gak bakal mentok mentok cerita korea kok. Isinya lebih dari banyak hal tentang dunia anak sekolah seperti senioritas, bullying dan pergaulan. Yah yang semacam itu tapi dari pengalaman dan pengamatanku dari dunia perfilman. 



Semua ini bermula karena drakor (drama korea) School 2017. Otomatis aku akan membahas tentang si drakor ini dulu. Sebenarnya buat yang gak tau karena gak suka nonton drakor, ini drama yang semacam berseries gitu. Kali ini udah sampai yang ketiga karena sebelumnya yang pertama itu namanya School 2013 lalu ada School 2015. Si School 2017 ini masih on going karena sekarang baru sampai episode 12 yang uda dirilis. 
Ceritanya sendiri yah sesuai namanya. Tentang masa anak-anak sekolah, terutama di SMA. Aku gak begitu suka cerita School 2013 karena lebih banyak scene berantem gitu dan sudut pandang utamanya cowok. Terus juga gak ada romance nya. Meski awalnya aku nonton gara-gara penasaran perannya Kim Woo Bin disana, eh si doi malah nongolnya kelamaan. Uda pertengahan cerita gitu.
School 2015 jauh lebih menarik, bahkan untuk dinonton ulang. Kebanyakan karena aku amaze sama kehebatan akting si pemeran utama. Kim So Hyun dan Sung Jae. Ost nya juga keren banget. Apa lagi yang judulnya I'll Listen To What You Have To Say, asli sedih banget, bahkan aku dapat sedihnya sebelum aku tau arti dalam bahasa indonesianya. Romancenya gak banyak dan gak lebay sehingga pengamatan kita ke kehidupan sekolah itu gak hilang. Tapi dia lebih banyak fokus ke bullying gitu.
Nah, School 2017 kali ini dengar dengar sih romance nya bakal lebih dari yang sebelumnya. Terus permasalahannya juga lebih banyak, menurut aku. Gak tau deh gimana bakal endingnya berhubung masih pertengahan cerita dan aku baru nonton 9 episode. Tapi udah dapat serunya.
Ada juga drakor anak sekolahan yang lebih ke tentang ekskul dan romance kayak Cheer Up.
Duh apaan ni kok uda jadi rekom drama.

Lanjut, persamaan di semua drakor itu adalah gambaran kehidupan anak SMA di Korea. Mereka kebanyakan jam belajarnya lebih panjang dibandingkan sekolah di Indo. Bisa ada yang sampai malam terus masih ikut bimbingan belajar. Bahkan ada yang punya konsultan pribadi. Seharusnya anak-anak di Indo gak banyak banyak mengeluh tentang jam belajar, masih ada yang jauh lebih tertekan dibandingkan kita.
Terus kalo kalian berpikir itu semua karena kesadaran belajar mereka lebih tinggi karena melihat persaingannya, aku malah berpikir gak hanya itu. Mereka belajarnya under pressure. Yah, meski gak semua juga, tapi kebanyakannya begitu.
Kenapa?
Karena orang tua mereka, biasanya. Si ibu/bapak atau keduanya biasanya menekankan si anak harus jadi sesuatu. Misalnya harus masuk ke Univ A atau B. Harus jadi dokter atau pengacara/jaksa, dsb. Padahal kemampuan si anak kadang gak sampe kesitu. Atau si anak emang mau, tapi karena terlalu ditekan dia jadi stress. Sampai si anak kadang menghalalkan segala cara untuk menggapai ambisi orang tuanya itu.
Bahkan ada yang sampai anaknya menjadi ranking dua pun dihujat sama ortu nya sendiri. Beranggapan bahwa itu gak ada apa apanya. Baru jadi seseorang kalo berhasil menghilangkan embel-embel "Si Nomor Dua".
Yang namanya teman pun gak ada. Adanya saingan. Benar-benar persaingan yang tinggi.

Di lingkungan aku, semua orang harus punya teman. Meski gak menampik bahwa Indo juga sama, ortu kadang menekankan si anak harus jadi ini harus jadi itu. Kadang ada yang ortunya bijak, beliau mengarahkan tapi kalo si anak gak mau yasudah. Kalo menurut aku pribadi, ada baiknya orang tua cuma menyarankan dan mengarahkan. Karena andai kata dia gak menurut dan memilih jalan yang berbeda, jika memang dia menyesal nantinya dia tidak akan bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri.

Terus permasalahan lainnya ketika si sekolah pun, dari guru-guru mulai membedakan murid hanya melihat dari peringkatnya atau orang tuanya. Kadang-kadang mereka hanya memikirkan kalau itu adalah hal yang wajar supaya mereka semakin terpacu untuk belajar.
Misalnya di School 2017 ini, mereka harus mengantri di kantin untuk makan aja berdasarkan peringkat. Atau di Cheer Up, yang menganggap ekskul milik anak-anak yang rankingnya terbelakang tidak layak diperjuangkan. Atau juga karena orang tua punya jabatan sehingga anak mereka layak diperlakukan lebih spesial daripada murid lain. Hell.

Aku pribadi udah pernah, dapat guru yang memperlakukan murid seperti itu. Aku gak jago mata pelajaran beliau dan beliau membandingkan muridnya bisa jadi dari kita dan teman kita atau kita dan kakak/abang kita (kalau pernah di sekolah yang sama).
Positifnya, aku kemudian memang berjuang mati-matian biar gak dibanding-bandingin lagi sampai akhirnya emang iya, beliau mulai respect dan notice. Tapi kita kan gak pernah tau, selain yang seperti aku, kemanakah mereka simpan perlakuan tersebut? Hanya jadi angin lalu? Di dalam hati kah? Jadi dendam kah? Jadi mata pisau yang berkarat di hati kah? Kita gak tahu. Istilahnya, kebanyakan efek dari perilaku tersebut malah berpengaruh negatif.

Pokoknya setelah aku melihat dan membandingkan kehidupan aku sama yang di drakor-drakor, aku merasa bersyukur banget. Soalnya aku gak mengalami hal-hal yang terlalu ekstrem gimana.
Kita mulai dari pergaulan. Aku terjebak bersekolah di lingkungan yang sama dari TK sampe SMA, di komplek aku. Dulunya TK bisa sampai 3 atau 4 gitu dalam satu komplek itu, SD juga bisa sampai 4 dan SMP ada dua. Tapi yang bertahan sampai masaku cuma 2 TK (sekarang udah tinggal 1), 2 SD (satunya langsung tutup setelah aku tamat), 1 SMP dan 1 SMA.
Otomatis lingkungannya jadi semakin sempit. Teman-temannya pun itu ituuu aja. Sampe kadang kita ingat semua aib dia dari jaman baheula. Widiih.

Negatifnya, kami jadi susah bersosialisasi. Begitu jumpa lingkungan baru dengan orang yang 'benar-benar beda', langsung deh cerita "gak enak banget mereka", "gak asik banget diajakin becanda" atau sekedar gak tau gimana caranya nimbrung ke teman-teman baru.
Aku sempat ngerasain. Apalagi dari pendaftaran ulang kuliah meski sebenarnya aku uda punya satu teman dari SMA yang sejurusan. Tapi gara-gara kebodohanku, aku terpaksa kebanyakan dari pendaftaran ulang itu mutar-mutar sendirian. Disitulah aku emang jadi memulai obrolan duluan dengan orang. Gak peduli dia bakal cuek bebek atau emang pendiam, pokoknya ajakin ngomong dulu.

Positifnya kami jadi benar-benar kenal siapa teman kami, bagaimana sifat dia, apa yang harus dihindari atau dibahas ketika bersama dia, siapa yang harus benar-benar patut diteladani dsb.
Terus kita rata-rata uda pada kenal sama orang tua si kawan jadi kayak sistem bullying gitu juga bakal lebih susah terjadi. Sistem memeras adik kelas dan senioritas yang kelewat kelewat juga gak ada. Dulunya sih begitu. Semoga seterusnya.
Persaingan juga terjadi, tapi lebih secara sehat. Soalnya ya gak semua orang berambisi dengan persaingan. Kejujuran, kerja keras dan kebaikan hati lebih bernilai daripada cuma sekedar bersaing nilai. Mungkin istilah kasarnya, biar gak pinter yang penting lu baik ke semua orang aja dah.

Terus ngomongin tentang senioritas, beberapa saat yang lalu meski uda rada lama juga beritanya kalian masih ingat juga dong tentang kasus Mapala UII? Pada dasarnya itu sistem senioritas gak berubah dari jaman ke jaman. Yang namanya bentak-bentak, marah-marahin junior saat orientasi kayak udah biasa. Lebih tepatnya seperti ajang balas dendam. Dulu si senior yang digituin, sekarang memberikan perlakuan yang sama ke juniornya. Makanya sistem ini gak pernah berubah. Tapi gak masuk akal banget kalo sampai bawa-bawa fisik dipukulin. Gak lantas jadi lebih hebat gitu loh. Kalo alasan demi melatih mental kok terasa nonsense gitu.

Btw, setelah mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda, aku teringat sama adik-adik leting aku di ekskul PMR dulu. Jadi ekskul aku yang satu ini dari masa berjaya sampai pernah di masa-masa down banget karena anggotanya berkurang. Gara-gara juniornya gak kuat dimarah-marahi. Padahal ya gak gimana gimana amat juga dimarahi. Kalo kalian pandai membedakan marah beneran sama marah yang cuma dibuat-buat supaya kalian respek, kalian tu malah bisa dekat sama seniornya.
Emang banyak tipe orang di dunia ini. Yang awal-awalnya mungkin begitu dibentak nangis, takut, marah, lalu bodo amat. Aku dan banyak temanku yang bertahan di PMR malah jadi spesies terakhir tadi. Yah, itu tadi kuncinya. Bedain kalian tu gak dimarahin untuk dijatuhkan.
Sudut pandang berbeda yang kudapatin? Ternyata emang gak semua orang harus dibentak untuk dibangun mentalnya. Ada yang gak usah dimarahi juga udah ngerti, ada yang harus dibentak dulu, ada yang emang gak bisa dibentak mungkin karena hatinya terlalu lembut (btw untuk kasus yang terakhir ini aku gak paham cara menanganinya).
Tapi kenapa ujungnya dikasih perilaku yang sama? Ya biar gak ngebedain aja. Tapi beneran, kembali lagi kepada niat dari hati si seniornya, sih. Kalo yang cuma ngebentak sekadar buat merasa hebat dan biar keren, itu buang aja ke laut.

Udah panjang aja ocehan tentang masa-masa sekolahnya. Oh ya, sebagai penutup aku mau menyampaikan beberapa hal. Yang pertama untuk kamu si pemilik masa SMA di masa lampau semoga bisa menyediakan fasilitas dan persaingan yang lebih sehat kepada generasi berikutnya.
Buat pemilik masa SMA di masa kini, semoga kalian bisa menciptakan kenangan yang indah, bukan kenangan yang buruk karena kalian bisa menikmati hari-hari sekarang tanpa terlalu banyak berpikir atau ragu-ragu, ke depannya masa-masa seperti itu akan sulit dijumpai. Gak hanya fokus pada persaingan, fokuslah pula pada pertemanan. Teman bukan saingan.
Kalo kalian punya permasalahan lainnya yang umum terjadi pada masa-masa sekolah, bisa banget tinggalin komentar kalian. Siapa tau ada yang mau baca. Yaa, siapa tau.

Sedikit kutipan kata-kata dari School 2015 yang akan terus kusukai sepanjang masa berikut ini sepertinya sesuai untuk tema kali ini.


18 tahun.. masih sangat awal untuk mencapai mimpi-mimpi kita. Tapi itu adalah umur yang paling tepat untuk menentukan impian kita. Rasanya pasti sakit ketika kamu terjatuh, tapi ini adalah usia yang tepat untuk kita terjatuh ratusan kali dan belajar bagaimana caranya untuk bangun lagi.
Karena kita masih 18 tahun, kita menjalani setiap hari seakan ini adalah hari terakhir kita. Kita mencintai dan membenci dengan sangat besar. Akan ada saat-saat ketika kita takut. Ditahun ini banyak hal yang sangat menyakitkan, kita melalui banyak sekali tekanan. Namun, ketika itu semua sudah berlalu alasan mengapa kita selalu menyebut saat ini sebagai momen terbahagia dalam hidup kita adalah karena teringat akan tangan hangat seseorang yang memegang tangan kita ketika kita terjatuh.
Tak perlu banyak orang, tapi hanya satu orang saja.. yang akan menghibur temannya saat menangis dengan mengatakan 'Baik aku maupun kamu.. apapun rintangan yang akan kita hadapi, kita akan bersama-sama melewatinya'.
Tak apa jika kamu terluka.. karena kamu masih 18 tahun.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku: RINDU by Tere Liye #1

Ngomong Sendiri

'Scientist to be' Talking About Islam